get your own embeddable forum with Talki

Minggu, 12 Mei 2013

Kewajiban Pajak Untuk Bendahara Pemerintah Pusat Dan Daerah



Bendahara Pemerintah adalah bendaharawan atau pejabat yang melakukan pembayaran yang dananya berasal dari APBN atau APBD yang terdiri dari Bendaharawan Pemerintah Pusat dan Daerah baik Provinsi, Kabupaten, atau Kota (KMK 563/2003).
Kewajiban sebagai bendahara Pemerintah dalam bidang perpajakan adalah sebagai berikut:
  • Mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.
  • Melakukan pemungutan PPN atas Belanja Barang dan Jasa (nilai pengadaan lebih dari Rp.1.000.000,- termasuk PPN) dengan tarif 10% dari DPP (dasar pengenaan pajak), melakukan penyetoran paling lambat tanggal 07 bulan berikut dan melaporkan paling lambat tanggal 14 bulan berikut. Dengan kode jenis setoran (MAP) 411211-900.
  • Melakukan pemungutan PPh Pasal 22 atas Belanja Barang (nilai pengadaan lebih dari Rp.2.000.000,- termasuk PPN) dengan tarif 1.5 % dari DPP (dasar pengenaan pajak), apabila rekanan tidak mempunyai NPWP tarif pajak menjadi 1.5% + 1.5 % (atau 3 %) dari obyek PPh Pasal 22/DPP PPN,  melakukan penyetoran paling lambat pada saat pembayaran dan melaporkan paling lambat tanggal 14 bulan berikut. Dengan kode jenis setoran (MAP) 411122-900.
  • Melakukan Pemotongan PPh Pasal 23 atas belanja jasa dengan tarif 2 % dari obyek PPh Pasal 23/DPP PPN, apabila rekanan tidak mempunyai NPWP tarif pajak menjadi 2% + 2 % (atau 4 %) dari obyek PPh Pasal 23/DPP PPN, melakukan penyetoran paling lambat tanggal 10 bulan berikut dan melaporkan paling lambat tanggal 20 bulan berikut. Dengan kode jenis setoran (MAP) 411124-100.
  • Melakukan Pemotongan PPh Pasal 4 (2) atas belanja jasa obyek PPh Pasal 4 (2) dengan tarif 2 % dari obyek PPh Pasal 4 (2)/DPP PPN, melakukan penyetoran paling lambat tanggal 10 bulan berikut dan melaporkan paling lambat tanggal 20 bulan berikut. Dengan kode jenis setoran (MAP) untuk jasa perawatan gedung 411128-409.
  • Melakukan Pemotongan PPh Pasal 21 atas belanja pegawai, melakukan penyetoran paling lambat tanggal 10 bulan berikut dan melaporkan paling lambat tanggal 20 bulan berikut, dengan ketentuan :
  1. Untuk Gaji PNS dipotong PPh Pasal 21 sesuai Tarif Pajak Pasal 17 UU No.36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan (PPh).
  2. Untuk Penghasilan PNS selain dari gaji PNS Golongan II ke bawah tidak dipotong PPh Pasal 21
  3. Untuk Penghasilan PNS selain dari gaji PNS Golongan III dipotong PPh Pasal 21 Final sebesar 5 % dari nilai bruto
  4. Untuk Penghasilan PNS selain dari gaji PNS Golongan IV dipotong PPh Pasal 21 Final sebesar 15 % dari nilai bruto
  5. Untuk Pegawai tidak tetap non PNS (wiyata bakti atau pegawai honorer) dipotong PPh Pasal 21 sebesar 5 % dari nilai bruto jika nilainya diatas PTKP (Rp.1.320.000,- per bulan).
  6. Untuk bukan pegawai (hanya menerima penghasilan sekali) non PNS dipotong PPh Pasal 21 sebesar 5 % x 50 % x nilai bruto.
  7. Untuk bukan pegawai (yang menerima penghasilan lebih dari sekali) non PNS dipotong PPh Pasal 21 sebesar 5 % x 50 % x ( dari nilai bruto – PTKP) dengan syarat yang bersangkutan telah mempunyai Nomor  Pokok Wajib Pajak dan hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26  serta tidak memperoleh penghasilan lainnya apabila tidak memenuhi syarat maka dipotong PPh Pasal 21 sebesar 5 % x 50 % dari nilai bruto (penghasilan kena pajak kumulatif).
  8. Tarif PPh Pasal 21 non final dikenakan sebesar 5 % + (20 % x 5 %) atau 6 % kepada penerima penghasilan yang tidak mempunyai NPWP.
  9. Kode jenis setoran PPh Pasal 21 final : 411121-402
  10. Kode jenis setoran PPh Pasal 21 non final : 411121-100
  • Untuk PPh Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 4 (2) dilakukan pelaporan pajak apabila ada transaksi, apabila tidak ada tidak perlu lapor.
  • Apabila rekanan tidak mempunyai NPWP maka tetap disetor atas nama rekanan dengan ketentuan dalam Surat Setoran Pajak (SSP) sebagai berikut :
  1. NPWP  : 00.000.000.0-(kode KPP).000 (KPP Purwokerto : 00.000.000.0-521.000)
  2. Nama   : Nama Toko / Orang / Badan Pemilik barang/jasa
  3. Alamat :  Alamat Toko / Orang / Badan  Pemilik barang/jasa
  • Sanksi administrasi bagi bendaharawan yang tidak melaksanakan kewajiban penyetoran dan pelaporan pajak adalah akan diterbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) dengan ketentuan sebagai berikut :
  1. Sanksi tidak setor PPN adalah sebesar 2 % x bulan terlambat x PPN yang seharusnya disetor
  2. Sanksi tidak lapor SPT Masa PPN adalah sebesar Rp.500.000,-
  3. Sanksi tidak setor PPh Pasal 21 adalah sebesar 2 % x bulan terlambat x PPh Pasal 21 yang seharusnya disetor.
  4. Sanksi tidak lapor SPT Masa PPh Pasal 21 adalah sebesar Rp.100.000,-
  5. Sanksi tidak setor PPh Pasal 22 adalah sebesar 2 % x bulan terlambat  x PPh Pasal 22 yang seharusnya disetor.
  6. Sanksi tidak lapor SPT Masa PPh Pasal 22 adalah sebesar Rp.100.000,-
  7. Sanksi tidak setor PPh Pasal 23 adalah sebesar 2 % x bulan terlambat x PPh Pasal 23 yang seharusnya disetor.
  8. Sanksi tidak lapor SPT Masa PPh Pasal 23 adalah sebesar Rp.100.000,-
  9. Sanksi tidak setor PPh Pasal 4 (2) adalah sebesar 2 % x bulan terlambat x PPh Pasal 4 (2) yang seharusnya disetor.
  10. Sanksi tidak lapor SPT Masa PPh Pasal 4 (2) adalah sebesar Rp.100.000,-
Dasar hukum :
  • UU No.42 Tahun 2009 Tentang PPN.
  • UU No.36 Tahun 2008 Tentang PPh.
  • UU No.28 Tahun 2007 Tentang KUP.

Ringkasan Tata Cara Penyusunan Pembukuan Bendahara Pengeluaran

    Sesuai dengan PMK No. 73 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penatausahaan dan Penyusunan Laporan Pertanggungjawaban Bendahara Kementerian Negara/Lembaga/Kantor/Satuan Kerja dan Perdirjen Perbendaharaan No 47 Tahun 2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penatausahaan dan Penyusunan Laporan Pertanggungjawaban Bendahara Kementerian Negara/Lembaga/Kantor/Satuan Kerja, setiap Bendahara Pengeluaran wajib menyelenggarakan Pembukuan dan wajib mempertanggungjawabkan pengelolaan uangnya dalam bentuk Laporan Pertanggungjawaban (LPJ).
    Kunci pembukuan Bendahara ini terletak pada ketelitian dan ketertiban dalam mencatat. Setiap transaksi secara kronologis akan dicatat saat dokumen sumber telah ada. Pencatatan dilakukan secara tertib, kronologis, pada buku yang tepat dan pada sisi yang tepat (debet atau kredit). Saat ini, pembukuan telah dapat dilakukan secara terkomputerisasi, tidak lagi harus dengan tulis tangan dan tinta hitam. Dengan demikian, tentu akan berdampak positif, yaitu lebih praktis dan lebih mudah, apalagi jika sudah menggunakan aplikasi yang dibangun sendiri. Kalaupun tidak, Bendahara dapat menggunakan excel saja.
    Beberapa contoh pembukuan transaksi yang saya kutip dari berbagai sumber adalah sebagai berikut:
    DIPA/POK
    • BKU (D/K), dan BP Pengawasan  Anggaran Belanja (Mengisi Pagu).
    SP2D UP/TUP
    • BKU (D), BP Bank (D), dan BP  UP (D)
    Mengambil Uang dari Bank
    • BKU (D/K),BP Bank (K),dan BP Kas Tunai (D)
    Pembayaran Tunai dengan UP
    • BKU (K), BP Kas Tunai (K), BP UP (K), dan Buku Pengawasan  Anggaran Belanja (K)
    Memungut Pajak
    • BKU (D), BP Kas Tunai (D), dan BP Pajak (D)
    Menyetor Pajak
    • BKU (K), BP Kas Tunai (K), dan BP Pajak (K)

    Pembayaran dengan Cek
    • BKU (K), BP Bank (K), BP UP (K), dan Buku Pengawasan  Anggaran Belanja (K).
    Menerima SP2D GUP
    • BKU (D), BP Bank (D), BP UP (D), dan Buku Pengawasan Anggaran Belanja (Disahkan/Diganti)
    Menerima SP2D GUP Nihil
    • BKU (D/K) dan Buku Pengawasan Anggaran  Belanja (Disahkan/Diganti)
    Menyetorkan Sisa TUP
    • BKU (K), BP Kas Tunai (K), BP  UP (K)
    Menerima SP2D LS Pihak Ketiga
    • BKU (D/K), Buku Pengawasan  Anggaran Belanja (K)
    Menerima SP2D LS Bendahara
    • BKU (D/K potongan), BP Bank (D/K potongan), BP LS Bendahara (D/K potongan), dan Buku Pengawasan Anggaran Belanja (K)
    Membayar Tunai dengan Uang LS
    • BKU (K), BP Kas Tunai (K), BP  LS Bendahara (K)
    Menyetor Sisa Uang LS Bendahara
    • BKU (K), BP Kas Tunai (K), BP LS Bendahara (K), Buku Pengawasan Anggaran Belanja (D)
    Pendapatan Jasa Giro
    • BKU (D), BP Bank (D),BP Lain-lain (D)
    Biaya Administrasi Bank/Penggantian Buku Cek
    • BKU (K), BP Bank (K), BP UP (K), BP Pengawasan Anggaran Belanja (K)
    Pembukuan Koreksi Kesalahan
    • BKU dan BP terkait di CP, kemudian bukukan yang seharusnya
    Pemberian Uang Muka Perjalanan Dinas
    • BKU (D/K), BP Kas Tunai (K), dan BP  UM Perjadin (D)
    Perhitungan Rampung Perjalanan Dinas
    • BKU (K), BP UP (K), BP UM Perjadin (K) dan Buku Pengawasan Anggaran Belanja (K)
    Pengembalian Sisa Uang Perjalanan Dinas
    • BKU (D/K), BP Kas Tunai (D), dan BP UM Perjadin (K)
    Pembayaran Kekurangan Uang Perjalanan Dinas
    • BKU (D/K), BP Kas Tunai (K), dan BP UM Perjadin (D)
    Pemberian Uang Muka kepada Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP)
    • BKU (D/K), BP Kas Tunai (K), dan BP BPP (D)
    Realisasi Belanja BPP
    • BKU (K), BP Pengawasan UP (K), BP UM BPP (K), dan BP Pengawasan Kredit Anggaran (K)
    Pengembalian Sisa Uang Muka BPP
    • BKU (D/K), BP Kas Tunai (D), dan BP UM BPP (K)
    Selanjutnya, jika telah benar dalam mengisikan Pembukuan Bendahara ini, maka masing-masing Buku akan mendapatkan saldo yang tepat, sehingga pada saat menuangkannya ke dalam kolom-kolom LPJ Bendahara akan mudah dan benar.


    Kategori: Pencairan Dana / Pelaporan Keuangan
    Diterbitkan pada Senin, 12 November 2012 01:01
    Ditulis oleh Moh. Ali Imron

    PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3/PMK.02/2013


    PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
    NOMOR 3/PMK.02/2013 

    TENTANG 

    TATA CARA PENYETORAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK 
    OLEH BENDAHARA PENERIMAAN 

    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

    MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

    Menimbang :

    1. bahwa berdasarkan Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penentuan Jumlah, Pembayaran, dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang, seluruh penerimaan negara yang terutang wajib disetor secepatnya ke kas negara;
    2. bahwa dalam keadaan tertentu, penerimaan negara bukan pajak dapat disetorkan melalui Bendahara Penerimaan;
    3. bahwa untuk memberikan kejelasan pengaturan tentang penyetoran penerimaan negara bukan pajak melalui Bendahara Penerimaan sebagaimana dimaksud pada huruf b, perlu ditetapkan suatu Peraturan Menteri Keuangan tersendiri;
    4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak oleh Bendahara Penerimaan;

    Mengingat :

    1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3687);
    2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
    3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
    4. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3694) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3760);
    5. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2005 tentang Pemeriksaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4500);
    6. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penentuan Jumlah, Pembayaran, dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4995);
    7. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Uang Negara/Daerah Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4738);
    8. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;


    MEMUTUSKAN:

    Menetapkan :

    PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENYETORAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK OLEH BENDAHARA PENERIMAAN.


    Pasal 1

    Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
    1. Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP, adalah seluruh penerimaan Pemerintah Pusat yang tidak berasaldari penerimaan perpajakan.
    2. Kas Negara adalah tempat penyimpanan Uang Negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan untuk membayar seluruh pengeluaran negara.
    3. Bank Persepsi adalah bank umum yang ditunjuk oleh BUN/Kuasa BUN untuk menerima setoran penerimaan negara bukan dalam rangka ekspor dan impor, yang meliputi penerimaan pajak, cukai dalam negeri dan penerimaan bukan pajak.
    4. Pos Persepsi adalah kantor pos yang ditunjuk oleh BUN/Kuasa BUN untuk menerima setoran penerimaan negara.
    5. Bendahara Penerimaan adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, menyetorkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang pendapatan negara dalam rangka pelaksanaan APBN pada kantor/satuan kerja kementerian/lembaga.
    6. Bendahara Penerimaan Pembantu adalah bendahara yang bertugas membantu bendahara penerimaan untuk menerima,menyimpan, menyetorkan, dan menatausahakan uang pendapatan negara dalam rangka pelaksanaan APBN pada kantor/satuan kerja kementerian/lembaga.


    Pasal 2

    Seluruh PNBP wajib disetor langsung secepatnya ke Kas Negara.


    Pasal 3

    (1)Penyetoran langsung ke Kas Negara dilakukan melalui Bank/Pos Persepsi yang ditunjuk oleh Bendahara Umum Negara.
    (2)Dalam hal disuatu tempat tertentu tidak tersedia layanan Bank/Pos Persepsi, penyetoran ke Kas Negara dapat dilakukan melalui Bendahara Penerimaan.
    (3)Bendahara Penerimaan berkewajiban melakukan penyetoran secepatnya ke Rekening Kas Negara.


    Pasal 4

    (1)Penyetoran PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), dilaksanakan oleh Bendahara Penerimaan setiap akhir hari kerja saat PNBP diterima.
    (2)Penyetoran PNBP oleh Bendahara Penerimaan pada hari kerja berikutnya setelah PNBP diterima dapat dilakukan dalam hal:
    a.PNBP diterima pada hari libur/yang diliburkan;
    b.Layanan Bank/Pos Persepsi yang sekota dengan tempat/kedudukan Bendahara Penerimaan tidak tersedia; atau
    c.Dalam hal tidak tersedia layanan Bank/Pos Persepsi yang sekota dengan tempat kedudukan Bendahara Penerimaan sebagaimana dimaksud pada huruf b, sepanjang memenuhi kondisi sebagai berikut:
    1. Kondisi geografis satuan kerja yang tidak memungkinkan melakukan penyetoran setiap hari;
    2. Jarak tempuh antara lokasi Bank/Pos Persepsi dengan tempat/kedudukan Bendahara Penerimaan melampaui waktu 2 jam; dan/atau
    3. Biaya yang dibutuhkan untuk melakukan penyetoran PNBP lebih besar daripada penerimaan yang diperoleh;
    Penyetoran PNBP oleh Bendahara Penerimaan dapat dilakukan secara berkala.
     

    Pasal 5

    (1)Dalam hal pemungutan PNBP suatu satuan kerja berada di beberapa tempat yang tidak satu kota dengan Bendahara Penerimaan, dapat ditunjuk Bendahara Penerimaan Pembantu oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran.
    (2)Penyetoran PNBP oleh Bendahara Penerimaan Pembantu ke rekening Kas Negara dilaksanakan pada hari kerja saat PNBP diterima.
    (3)PNBP yang diterima oleh Bendahara Penerimaan Pembantu setelah pukul 12.00 waktu setempat disetorkan ke rekening Kas Negara pada hari kerja berikutnya.
    (4)Dalam hal penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat dilakukan, Bendahara Penerimaan Pembantu dapat menyetorkan PNBP yang diterimanya secara berkala sesuai ketentuan.
    (5)Bendahara Penerimaan Pembantu melakukan pembukuan atas setoran penerimaan yang dikelolanya dan melaporkan secara periodik kepada Bendahara Penerimaan satuan kerja induknya.


    Pasal 6

    (1)Kepala satuan kerja dapat mengajukan permohonan untuk melakukan penyetoran secara berkala atas PNBP yang diterima oleh Bendahara Penerimaan/Bendahara Penerimaan Pembantu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan disertai dengan penjelasan perlunya penyetoran PNBP dilakukan secara berkala.
    (2)Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit dilengkapi dengan:
    1. Alamat satuan kerja dan alamat bank persepsi/pos persepsi tempat penyetoran PNBP satker yang bersangkutan;
    2. Penjelasan mengenai jarak tempuh, kondisi geografis, dan biaya yang dibutuhkan untuk melakukan penyetoran;
    3. Data jumlah realisasi PNBP, tanggal penerimaan, dan tanggal penyetoran dalam tahun berjalan dan satu tahun sebelumnya; dan
    4. Usulan periode penyetoran PNBP secara berkala yang akan dilakukan oleh satuan kerja.
    (3)Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan melakukan penelitian dan penilaian atas permohonan satuan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    (4)Atas hasil penelitian dan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan dapat menerbitkan surat penolakan atau persetujuan kepada Kepala satuan kerja untuk melakukan penyetoran PNBP secara berkala.
    (5)Surat penolakan atau persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), sewaktu-waktu dapat ditinjau kembali oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
    (6)Persetujuan penyetoran PNBP secara berkala dapat diberikan dengan ketentuan penyetoran dilakukan paling sedikit satu kali dalam satu minggu.
    (7)Surat persetujuan atau penolakan penyetoran PNBP secara berkala ditembuskan kepada Menteri Keuangan, Direktur Jenderal Perbendaharaan, Direktur Jenderal Anggaran, dan Pimpinan Instansi Pemerintah satuan kerja yang bersangkutan.


    Pasal 7

    Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan 

    Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.




    Ditetapkan di Jakarta 
    pada tanggal 2 Januari 2013 
    MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

    ttd.

    AGUS D.W. MARTOWARDOJO


    Diundangkan di Jakarta 
    pada tanggal 2 Januari 2013 
    MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
    REPUBLIK INDONESIA,

    ttd.

    AMIR SYAMSUDIN


    BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 6

    PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64/PMK.05/2013


    PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
    NOMOR 64/PMK.05/2013

    TENTANG

    MEKANISME PENGAWASAN TERHADAP PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN DAN
    PENYETORAN PAJAK YANG DILAKUKAN OLEH BENDAHARA PENGELUARAN
    SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH/KUASA BENDAHARA UMUM DAERAH

    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

    MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

    Menimbang :

    1. bahwa Bendahara Pengeluaran sebagai Wajib Pungut Pajak Penghasilan dan pajak lainnya wajib menyetorkan seluruh penerimaan pajak yang berasal dari potongan maupun yang dipungutnya ke Kas Negara;
    2. bahwa dalam rangka meningkatkan penerimaan negara, perlu mengatur mekanisme pengawasan terhadap pemotongan/pemungutan dan penyetoran pajak yang dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran Satuan Kerja Perangkat Daerah/Kuasa Bendahara Umum Daerah;
    3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Mekanisme Pengawasan Terhadap Pemotongan/Pemungutan dan Penyetoran Pajak yang Dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran Satuan Kerja Perangkat Daerah/Kuasa Bendahara Umum Daerah;
     
    Mengingat :

    1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
    2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
    3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
    4. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Repulik Indonesia Nomor 4578);
    5. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Uang Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4738);
    6. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 162, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5268);
    7. Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4212) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2010 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5135);
    8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.06/2006 tentang Modul Penerimaan Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37/PMK.05/2007;
    9. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010;

    MEMUTUSKAN:

    Menetapkan :

    PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG MEKANISME PENGAWASAN TERHADAP PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN DAN PENYETORAN PAJAK YANG DILAKUKAN OLEH BENDAHARA PENGELUARAN SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH/KUASA BENDAHARA UMUM DAERAH.


    BAB I
    KETENTUAN UMUM

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
    1. Pajak adalah pajak pemerintah pusat yang dipotong/dipungut oleh Bendahara Pengeluaran Satuan Kerja Perangkat Daerah/Kuasa Bendahara Umum Daerah atas belanja yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang terdiri dari Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai perpajakan.
    2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan ditetapkan dengan peraturan daerah.
    3. Kepala Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota.
    4. Belanja Daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih.
    5. Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah yang selanjutnya disingkat SKPKD adalah perangkat daerah pada pemerintah daerah selaku pengguna anggaran/pengguna barang, yang juga melaksanakan pengelolaan keuangan daerah.
    6. Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yang selanjutnya disingkat PPKD adalah kepala SKPKD yang mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan APBD dan bertindak sebagai Bendahara Umum Daerah.
    7. Bendahara Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BUD adalah PPKD yang bertindak dalam kapasitas sebagai BUD dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah.
    8. Kuasa Bendahara Umum Daerah yang selanjutnya disebut Kuasa BUD adalah pejabat di lingkungan SKPKD yang diberi kuasa untuk melaksanakan sebagian tugas BUD dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada BUD.
    9. Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah perangkat daerah pada pemerintah daerah selaku pengguna anggaran/barang.
    10. Bendahara Pengeluaran Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disebut Bendahara Pengeluaran SKPD adalah pejabat fungsional yang ditunjuk menerima, menyimpan, membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan belanja daerah dalam rangka pelaksanaan APBD pada SKPD.
    11. Nomor Pokok Wajib Pajak yang selanjutnya disingkat NPWP adalah nomor yang diberikan kepada wajib pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
    12. Surat Ketetapan Pajak yang selanjutnya disingkat SKP adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
    13. Surat Setoran Pajak yang selanjutnya disingkat SSP adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas Negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
    14. Bank Persepsi adalah bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima setoran penerimaan negara bukan dalam rangka impor, yang meliputi penerimaan pajak, cukai dalam negeri dan penerimaan negara bukan pajak.
    15. Pos Persepsi adalah kantor pos yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima setoran penerimaan negara.
    16. Nomor Transaksi Penerimaan Negara yang selanjutnya disingkat NTPN adalah nomor yang tertera pada bukti penerimaan negara yang diterbitkan melalui Modul Penerimaan Negara.
    17. Nomor Transaksi Bank yang selanjutnya disingkat NTB adalah nomor bukti transaksi penyetoran penerimaan negara yang diterbitkan oleh Bank.
    18. Nomor Transaksi Pos yang selanjutnya disingkat NTP adalah nomor bukti transaksi penyetoran penerimaan negara yang diterbitkan oleh Pos.
    19. Bukti Penerimaan Negara yang selanjutnya disingkat BPN adalah dokumen yang diterbitkan oleh Bank/Pos atas transaksi penerimaan negara dengan teraan NTPN dan NTB/NTP.
    20. Daftar Nominatif Penerimaan yang selanjutnya disingkat DNP adalah rincian penerimaan negara yang ditandatangani oleh pejabat Bank Persepsi/Bank Devisa Persepsi/Pos Persepsi dan disahkan oleh pejabat Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara.
    21. Daftar Transaksi Harian Belanja Daerah yang selanjutnya disebut DTH adalah daftar yang dibuat oleh Bendahara Pengeluaran SKPD dan Kuasa BUD yang memuat rincian transaksi harian belanja daerah per Surat Perintah Membayar/Surat Penyediaan Dana (SPM/SPD) dan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D).
    22. Rekapitulasi Transaksi Harian Belanja Daerah yang selanjutnya disebut RTH adalah daftar yang dibuat oleh Kuasa BUD yang memuat rekapitulasi dari DTH dalam satu wilayah Provinsi/Kabupaten/Kota.
    23. Konfirmasi Surat Setoran Penerimaan Negara adalah serangkaian kegiatan untuk memastikan bahwa atas setoran yang tercantum dalam surat setoran penerimaan negara telah diterima di kas negara.
    24. Modul Penerimaan Negara yang selanjutnya disingkat MPN adalah modul penerimaan yang memuat serangkaian prosedur mulai dari penerimaan, penyetoran, pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran, sampai dengan pelaporan yang berhubungan dengan penerimaan negara dan merupakan bagian dari Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara.
    25. Konfirmasi Kebenaran Perhitungan/Penyetoran Pajak adalah serangkaian kegiatan untuk memastikan transaksi belanja daerah yang seharusnya dikenakan pajak telah dipotong/dipungut/disetor sesuai ketentuan perundang-undangan.
    26. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan professional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
    27. Verifikasi adalah serangkaian kegiatan pengujian pemenuhan kewajiban subjektif dan objektif atau penghitungan dan pembayaran pajak, berdasarkan permohonan wajib pajak atau berdasarkan data dan informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh Direktur Jenderal Pajak, dalam rangka menerbitkan Surat Ketetapan Pajak, menerbitkan/menghapus Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan/mencabut pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
    28. Kantor Pelayanan Pajak yang selanjutnya disingkat KPP adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak.
    29. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan.


    BAB II
    RUANG LINGKUP

    Pasal 2

    Ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri ini meliputi:
    1. pemotongan/pemungutan dan penyetoran Pajak atas Belanja Daerah;
    2. pengujian kebenaran perhitungan/penyetoran Pajak dan konfirmasi setoran penerimaan Pajak atas Belanja Daerah;
    3. konfirmasi kebenaran perhitungan/penyetoran Pajak atas Belanja Daerah;
    4. pemeriksaan/verifikasi Pajak terhadap pelaksanaan pemotongan/pemungutan dan penyetoran Pajak atas Belanja Daerah;
    5. penyetoran Pajak terutang; dan
    6. sanksi.


    BAB III
    PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN DAN PENYETORAN PAJAK
    ATAS BELANJA DAERAH

    Pasal 3

    (1)Dalam melaksanakan anggaran Belanja Daerah di setiap SKPD, Bendahara Pengeluaran SKPD dan/atau pejabat pelaksana teknis kegiatan mengajukan permintaan pembayaran atas transaksi pengeluaran kepada Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran melalui Pejabat Penatausahaan Keuangan.
    (2)Pengajuan permintaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan mekanisme Uang Persediaan (UP) atau mekanisme Langsung (LS).
    (3)Berdasarkan permintaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran mengajukan perintah membayar kepada Kuasa BUD.
    (4)Berdasarkan perintah membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kuasa BUD menerbitkan perintah pencairan dana.


    Pasal 4

    Untuk memenuhi kewajiban perpajakan, Bendahara Pengeluaran SKPD/Kuasa BUD wajib memotong/memungut Pajak atas transaksi pengeluaran yang bersumber dari anggaran Belanja Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.


    Pasal 5

    (1)Bendahara Pengeluaran SKPD/Kuasa BUD menyetorkan hasil pemotongan/pemungutan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ke Kas Negara.
    (2)Penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan:
    1. menggunakan SSP; atau
    2. menggunakan sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan SSP.
    (3)Penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam batas waktu sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai penentuan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran Pajak.


    Pasal 6

    Untuk penyetoran hasil pemungutan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a, Bank Persepsi/Pos Persepsi menyampaikan:
    1. SSP lembar ke-1, lembar ke-3, dan lembar ke-5 yang sudah tertera NTPN dilampiri BPN kepada Bendahara Pengeluaran SKPD/Kuasa BUD; dan
    2. SSP lembar ke-2 yang sudah tertera NTPN kepada KPPN dilampiri DNP.


    BAB IV
    PENGUJIAN KEBENARAN PERHITUNGAN/PENYETORAN PAJAK
    DAN KONFIRMASI SETORAN PENERIMAAN PAJAK
    ATAS BELANJA DAERAH

    Pasal 7

    (1)Dalam rangka pengujian kebenaran perhitungan/penyetoran Pajak:
    1. Bendahara Pengeluaran SKPD harus membuat DTH atas Belanja Daerah yang pemungutan/pemotongan dan/atau penyetoran pajaknya dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran SKPD; dan
    2. Kuasa BUD harus membuat DTH atas Belanja Daerah yang pemungutan/pemotongan dan/atau penyetoran pajaknya dilakukan oleh Kuasa BUD.
    (2)DTH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilampiri SSP lembar ke-3.
    (3)DTH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dibuat sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


    Pasal 8

    (1)DTH yang dibuat oleh Bendahara Pengeluaran SKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dilampiri SSP lembar ke-3 dan disampaikan kepada Kuasa BUD.
    (2)Penyampaian DTH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama tanggal 10 setelah bulan yang bersangkutan berakhir.
    (3)Dalam hal tanggal 10 setelah bulan yang bersangkutan berakhir jatuh pada hari libur atau hari kerja yang diliburkan, penyampaian DTH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat pada hari kerja berikutnya.
      

    Pasal 9

    (1)Berdasarkan DTH yang disampaikan oleh Bendahara Pengeluaran SKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan DTH yang dibuat oleh Kuasa BUD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b, Kuasa BUD membuat RTH.
    (2)RTH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


    Pasal 10

    (1)Kuasa BUD menyampaikan RTH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) kepada Kepala KPP secara bulanan paling lama tanggal 20 setelah bulan yang bersangkutan berakhir.
    (2)Dalam hal tanggal 20 setelah bulan yang bersangkutan berakhir jatuh pada hari libur atau hari kerja yang diliburkan, penyampaian RTH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat pada hari kerja berikutnya.
    (3)RTH yang disampaikan kepada Kepala KPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri:
    1. DTH dari Bendahara pengeluaran SKPD;
    2. DTH dari Kuasa BUD; dan
    3. SSP lembar ke-3.
    (4)Penyampaian RTH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan pembagian KPP yang diatur oleh Direktur Jenderal Pajak.
    (5)Kepala KPP menyampaikan surat pemberitahuan mengenai penyampaian RTH kepada Kuasa BUD berdasarkan pembagian KPP sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
    (6)RTH disampaikan dalam bentuk hardcopy dan softcopy.
    (7)Berdasarkan penyampaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala KPP memberikan tanda terima penyampaian RTH kepada Kuasa BUD.
                 

    Pasal 11

    (1)Dalam hal Kuasa BUD tidak menyampaikan RTH secara tepat waktu, Kepala KPP menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Kepala Daerah.
    (2)Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada:
    1. Direktur Jenderal Pajak;
    2. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak; dan
    3. Kuasa BUD berkenaan.
    (3)Berdasarkan pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Daerah meminta Kuasa BUD untuk segera menyampaikan RTH kepada Kepala KPP.
    (4)Berdasarkan tembusan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Pajak menyampaikan daftar Kuasa BUD yang tidak menyampaikan RTH kepada Menteri Keuangan dengan tembusan kepada Menteri Dalam Negeri.
          
      
    Pasal 12

    (1)Kepala KPP melakukan konfirmasi surat setoran penerimaan negara atas lembar ke-3 SSP yang dilampirkan pada RTH yang disampaikan ke KPP.
    (2)Konfirmasi surat setoran penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui data transaksi penerimaan negara yang tercatat pada sistem MPN.
    (3)Dalam hal konfirmasi surat setoran penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mencukupi, KPP melakukan konfirmasi surat setoran penerimaan negara ke KPPN.
    (4)Tata cara konfirmasi surat setoran penerimaan negara ke KPPN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     

    Pasal 13

    (1)KPP melakukan pengujian kebenaran perhitungan/penyetoran Pajak berdasarkan:
    1. hasil perhitungan potensi Pajak atas Belanja Daerah;
    2. DTH yang dibuat oleh Bendahara Pengeluaran SKPD;
    3. DTH yang dibuat oleh Kuasa BUD;
    4. RTH yang dibuat oleh Kuasa BUD;
    5. SSP lembar ke-3; dan
    6. hasil konfirmasi surat setoran penerimaan negara.
    (2)Perhitungan potensi Pajak atas Belanja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
    1. Direktur Jenderal Pajak menyampaikan permintaan informasi tentang APBD per SKPD per jenis belanja kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dalam rangka perhitungan potensi Pajak atas Belanja Daerah;
    2. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menyampaikan informasi tentang APBD per SKPD per jenis belanja kepada Direktur Jenderal Pajak; dan
    3. Direktur Jenderal Pajak melakukan perhitungan potensi penerimaan Pajak atas Belanja Daerah.


    BAB V
    KONFIRMASI KEBENARAN PERHITUNGAN/PENYETORAN PAJAK
    ATAS BELANJA DAERAH

    Pasal 14

    (1)Dalam hal terdapat ketidaksesuaian pemotongan/pemungutan dan/atau penyetoran Pajak berdasarkan hasil pengujian kebenaran perhitungan/penyetoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), Kepala KPP melakukan konfirmasi kebenaran perhitungan/penyetoran Pajak kepada Bendahara Pengeluaran SKPD dan/atau Kuasa BUD.
    (2)Kepala KPP menyampaikan surat pemberitahuan hasil konfirmasi kepada Kuasa BUD dengan tembusan kepada Kepala Daerah dan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak.


    BAB VI
    PEMERIKSAAN/VERIFIKASI PAJAK TERHADAP PELAKSANAAN
    PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN DAN PENYETORAN PAJAK
    ATAS BELANJA DAERAH

    Pasal 15

    (1)Dalam hal hasil pengujian kebenaran perhitungan/penyetoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan/atau konfirmasi kebenaran perhitungan/penyetoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) masih terdapat selisih kurang Pajak yang belum dipotong/dipungut dan/atau disetor oleh Bendahara Pengeluaran SKPD/Kuasa BUD, KPP melakukan pemeriksaan dan/atau verifikasi.
    (2)Berdasarkan hasil pemeriksaan dan/atau verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPP menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB).
    (3)KPP menyampaikan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) kepada Bendahara Pengeluaran SKPD/Kuasa BUD.


    BAB VII
    PENYETORAN PAJAK TERUTANG

    Pasal 16

    (1)Berdasarkan SKPKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2), Bendahara Pengeluaran SKPD/Kuasa BUD menyetor kewajiban Pajak terutang beserta sanksinya ke Kas Negara.
    (2)Penyetoran kewajiban Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
    (3)Apabila Bendahara Pengeluaran SKPD/Kuasa BUD tidak menyetor kewajiban Pajak terutang beserta sanksinya ke Kas Negara dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala KPP menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Kepala Daerah.
    (4)Berdasarkan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala KPP menyampaikan laporan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Pajak.
    (5)Berdasarkan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Daerah meminta Bendahara Pengeluaran SKPD/Kuasa BUD untuk segera menyetor kewajiban Pajak terutang beserta sanksinya ke Kas Negara.
    (6)Berdasarkan tembusan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Direktur Jenderal Pajak menyampaikan daftar Bendahara Pengeluaran SKPD/Kuasa BUD yang tidak menyetor kewajiban Pajak terutang beserta sanksinya ke Kas Negara kepada Menteri Keuangan dengan tembusan kepada Menteri Dalam Negeri.
         

    BAB VIII
    SANKSI

    Pasal 17

    Dalam hal penyetoran kewajiban Pajak terutang beserta sanksinya ke Kas Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) tidak dilakukan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), Bendahara Pengeluaran SKPD/Kuasa BUD diberikan sanksi administrasi dan/atau sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


    BAB IX
    KETENTUAN LAIN-LAIN

    Pasal 18

    (1)Direktorat Jenderal Pajak/KPP melakukan sosialisasi kepada Bendahara Pengeluaran SKPD/Kuasa BUD mengenai pengawasan pemotongan/pemungutan dan penyetoran Pajak yang dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran SKPD/Kuasa BUD.
    (2)Sosialisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan KPPN sesuai wilayah kerjanya.


    Pasal 19

    Ketentuan lebih lanjut mengenai:
    1. perhitungan potensi Pajak atas Belanja Daerah;
    2. penetapan tiap KPP dalam rangka penerimaan DTH dan RTH dari Kuasa BUD;
    3. tata cara penyampaian dan penatausahaan DTH dan RTH;
    4. tata cara konfirmasi kebenaran perhitungan/penyetoran Pajak; dan
    5. tata cara pemeriksaan/verifikasi,
    6. diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.


    BAB X
    KETENTUAN PENUTUP

    Pasal 20

    Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
                                              
                                            



    Ditetapkan di Jakarta
    pada tanggal 15 Maret 2013
    MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

    ttd.

    AGUS D.W. MARTOWARDOJO
                                              

    Diundangkan di Jakarta
    pada tanggal 15 Maret 2013
    MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
    REPUBLIK INDONESIA,

    ttd.

    AMIR SYAMSUDIN


    BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 438

    >>> Popular Posts :


    The Forex Quotes are Powered by Investing.com - The Leading Financial Portal.